Apakah Benar Rasulullah Itu Lahir Sudah dalam Keadaan Terkhitan? Berikut Jawaban Gus Baha

Diposting pada

Daftar Isi

Dalam sebuah video Gus Baha jelaskan tentang perbedaan pendapat para ulama.
Salah satu perbedaan pendapat ulama yang diungkapkan Gus Baha yaitu tentang khitan.

Pandangan Gus Baha tentang perbedaan pendapat mengenai Rasulullah ketika lahir sudah di khitan.

Ada dua sudah pandang ulama yang mengatakan Rasulullah ketika lahir itu sudah di khitan.

Namun ada lagi ulama yang berpendapat bahwa Rasulullah itu dikhitan sama kakek-Nya yaitu Abdul Muthalib.

“Perbedaan dalam menyikapi sesuatu adalah hal yang wajar terjadi. Hasil olah pikir, sudut pandang, kecenderungan membuat perbedaan itu semakin luas. Lantas, bagaimana sikap kita menyikapinya? Apakah kita boleh merasa paling benar dan mengklaim pihak lain salah?” Ungkap Gus Baha.

Dalam hal ini, pandangan Gus Baha boleh jadi solusi. Perbedaan pandangan itu tetap bisa diakomodir asalkan dilandasi dengan ilmu.

Dilansir  dari video yang di unggah kanal YouTube Santri Gayeng pada 10 bulan yang lalu. Berikut penjelasan Gus Baha.

Pendapat yang menyebutkan bahwa Nabi sudah terkhitan ketika lahir di dunia adalah baik. Hal ini merupakan keistimewaan beliau dari segi dikhitan oleh (kekuasaan) Tuhan secara langsung.

Apakah Benar Rasulullah Itu Lahir Sudah dalam Keadaan Terkhitan? Berikut Jawaban Gus Baha./
Apakah Benar Rasulullah Itu Lahir Sudah dalam Keadaan Terkhitan? Berikut Jawaban Gus Baha./ /Instagram/@ceramahgusbaha
Namun pendapat yang mengatakan Nabi dikhitan oleh kakeknya juga baik. Ini merupakan keistimewaan bagi diri Nabi karena ia dididik oleh orang yang shalih. FYI, Abdul Muthalib adalah orang yang masih menjalankan agama Nabi Ibrahim as. Perbedaan ini jika didasari dan dianalisis dengan ilmu pengetahuan maka akan sama-sama benar.

BACA JUGA:  Benarkah Islam di Aceh Ada Sejak Zaman Ali bin Abi Thalib? Begini kata Gus Baha

Dengan menggunakan kacamata ilmu pengetahuan, maka seseorang akan selalu obyektif dalam menyikapi setiap hal. Mereka yang memiliki obyektifitas tinggi, akan mudah diajak berpikir.

Di satu sisi, ia akan mudah diajak dan dipengaruhi. Namun di sisi yang berbeda, untuk mengajak atau mempengaruhi mereka harus dengan ilmu juga. Tentu ini bukan pekerjaan sederhana.

Jika pada akhirnya kedua belah pihak (yang mengajak dan diajak) sama-sama tidak sependapat dan keukeuh pada pendapatnya, maka semua pasti bisa memakluminya.

Dikatakan demikian karena semua bil ‘ilmi (dilandasi dengan ilmu), bukan emosi. Karenanya, semua akan bisa legowo kata Gus Baha.***