Daftar Isi
Kyai Samsuri, Eks Pasukan Diponegoro di Gunung Kebo Trenggalek
Diantara pasukan Diponegoro yang lari ke Trenggalek adalah Kyai Samsuri (kiri, surban putih), yang menetap di utara Gunung Kebo. Kyai Samsuri dianugerahi umur panjang.
Meski tidak diketahui dengan pasti tanggal kelahirannya, namun ketika wafat pada 1976, anak cucunya memastikan bahwa usianya kurang lebih 220 tahun. Tidak heran jika banyak masyarakat Trenggalek, terutama yang usia paruh baya, yang sempat ”menangi” dengan kiai jaduk ini.
Semasa hidupnya, kyai yang mempunyai tradisi menyembelih kerbau tiap Jum’at Kliwon ini menjadi rujukan mayarakat. Mulai dari masalah pribadi seperti rizki, jodoh, hingga keturunan, hingga persoalan pemerintahan.
Menurut penuturan keturunannya, awalnya Kyai Samsuri memulai berdakwah di daerah Gunung Kebo (Sambirejo, Trenggalek) bersama dua karibnya yang juga bekas pasukan Diponegoro. Keduanya adalah Kyai Abdullah Hafidz atau yang dikenal dengan Mbah Jenggot dan Eyang Kamdi. Pada perkembangannya, untuk makin meluaskan dakwah, Mbah Jenggot sedikit bergeser ke utara, ke sebelah utara Sungai Ngasinan, sedangkan Eyang Kamdi bergeser ke selatan.
Pada 1910, Kyai Samsuri mendirikan masjid yang juga dimaksudkan untuk sarana mengaji masyarakat sekitar. Pada perkembangannya, seiring kedatangan santri dari luar, maka didirikan pula bangunan pondok. Pondok tersebut dinamakan Pondok Gunung Kebo.
Satu dasawarsa paska kewafatannya, tepatnya pada tahun 1988, dakwahnya diteruskan oleh cucunya yang bernama Misni (1942–2001). Kyai Misni yang mewarisi kealiman dan kejadukan kakeknya ini kemudian menamai pesantrennya dengan Hidayatul Mubtadiien, tabarrukan kepada Pondok Hidayatul Mubtadiien Lirboyo.