Daftar Isi
Ternyata, kisah menundukkan jin tidak hanya berkisar pada ulama terdahulu seperti Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani dan lain lain. Ternyata ulama zaman modern pun memiliki banyak kisah seperti itu.
Tersebutlah seorang ulama yang halus tutur katanya, lemah lembut dan terkenal sangat tawadlu, rendah hati. Beliau bernama Kyai Muslih Zuhdi rahimahullah. Ternyata dibalik kelembutannya, ia adalah seorang yang sangat sakti. Ia dikenal memiliki ajian “Sampar Angin”. Sebuah ajian dahsyat yang membuat pemiliknya bisa bergerak sangat cepat. Hanya hitungan detik atau menit untuk menempuh jarak yang sangat jauh tanpa kendaraan.
Ajian ini sempat pula beliau ijazahkan kepada Kyai yang dikenal kalem danmenjadi ulama paling diperhatikan di lingkungan Nahdlatul Ulama, Kyai Musthafa Bisri, yang biasa dipanggil dengan sebutan Gus Mus.
Gus Mus mendapat ijazah ajian Sampar Angin ini dengan pesan yang aneh dari pemberinya, yakni Kyai Muslih Zuhdi, “Terimalah ijazah ini, tapi jangan diamalkan!”
Gus Mus pun melongo. Kenapa memberi ijazah tapi tidak boleh diamalkan? Tapi karena ini dawuh Kyai, maka beliau patuh saja tidak berani membantah. Kyai Zuhdi menambahkan, “Karena bekerjanya ajian ini dengan menggunakan bantuan jin. Tak baik memperalat jin” tandas Kyai Zuhdi.
Dan memang jin itu patuh pada manusia yang diberi kekuasaan oleh Allah Ta’ala. Sehingga ketika suatu waktu. Gus Yahya (Keponakan Gus Mus) yang mondok di Krapyak Yogyakarta hendak pulang ke Rembang menggunakan motor vespa PS 150 yang sudah berumur. Pada kesempatan itu pula, Gus Syafi’ (putra Kyai Muslih Zuhdi yang memberi ijazah Gus Mus) ikut membonceng Gus Yahya karena sama sama ingin pulang ke Rembang.
Musim hujan membuat perjalanan dengan vespa tua itu semakin lambat. Bahkan ketika sampai di daerah Pati vespa itu pun mogok. Biasanya dibongkar businya, digosok, bisa jalan lagi. Tapi kali ini tidak. Vespa itu seperti kerbau yang mogok membajak sawah. Bahkan busi baru yang sudah disiapkan pun tidak menjadi solusi.
Keringat Gus Yahya mengalir deras bersaing dengan tetesan gerimis. Kaki sudah ngilu karena berkali kali harus “mancal” pedal stater. Akhirnya setelah digenjot berulang ulang dengan “histeris” vespa itu mau jalan.
“Ayo Mas, cepat” kata Gus Yahya kepada Gus Syafi’ karena khawatir motornya mogok lagi. Apalagi ini sudah lewat waktu maghrib.
Gus Syafi’ segera loncat ke boncengan dan vespa itu di-geber paksa, suara vespa itu sangat keras dan terdengar sungguh merana. Tapi ia melaju lumayan cepat. Tepat di tugu batas kota Rembang vespa itu mogok lagi, seperti unta yang kelelahan. Tak kuat lagi berjalan. Untung saja , di dekat situ adalah rumah Mbah Masrur yang masih kerabat Gus Yahya.
Isteri Mbah Masrur, melongok keluar dari toko kelontong miliknya. “Kamu Yahya?”
“Nggih, Mbah”.
“Lha embahmu (Kyai Masrur) tadi malah berangkat ke Leteh”. Leteh itu rumah keluarga Gus Yahya. Maksudnya, Mbah Masrur justru pergi ke rumah Gus Yahya, sekitar dua kilometer dari situ.
Maka Gus Yahya dan Gus Syafi’ mampir istirahat di rumah Mbah Masrur. Belum lama Gus Yahya duduk di rumah itu, Mbah Masrur datang dengan memabwa Suzuki Carry, mobil dinas milik Kyai Kholil Bisri (ayah Gus Yahya).