Daftar Isi
ABU NAWAS MENCARI TUHAN
Suatu siang, Abul Augus Alqomty terpana menyaksikan Abu Nawas asyik berzikir di sebuah masjid di pinggir kota Baghdad. Lelaki asal Distrik Qomty itu seperti ikut hanyut dalam gerak-gerik Abu Nawas yang khusyuk berzikir sambil bersila. Ia terus memperhatikan Abu Nawas yang matanya terpejam, mulutnya komat-kamit, jari-jemari tangannya menari-nari, dan tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri seperti sedang menari Saman. ‘’Jangan-jangan dalam pejam matanya Abu Nawas sedang melihat Allah,’’ gumam Abul Augus kepada dirinya sendiri.
Cemburu pada Abu Nawas yang diduganya sedang bercengkerama dengan Allah, Abul Augus memberanikan diri mengusik keasyikan pujangga Baghdad itu dasri zikirnya. Pelan-pelan ia mendekat lalu duduk bersila tak jauh dari Abu Nawas. Ia menunggu saat yang tepat untuk menyapanya. Benar saja, hampir setengah jam Abul Augus duduk menanti, Abu Nawas akhirnya membuka mata dan menoleh pada Abul Augus yang tengah memandanginya dengan penuh takjub.
‘’Tuan, saya perhatikan dari tadi Anda asyik sekali berzikir. Apakah sambil memejamkan mata, Tuan tadi melihat Allah?’’ kata Abul Augus membuka percakapan.
‘’Allah tidak bisa dilihat, tapi kehadiran-Nya bisa dirasakan,’’ jelas Abu Nawas perlahan.
‘’Apakah sekarang Allah di sini? Mengapa saya tidak merasakan kehadiran-Nya?’’
‘’Ya Anda harus menemukan Allah dulu biarpun sekali, barulah nanti Anda akan selalu bisa merasakan kehadiran-Nya di mana pun.’’
Abul Augus tersenyum girang. Sudah lama ia mengembara mencari Tuhan tapi tak pernah menemukan-Nya. Sekarang ia bertemu Abu Nawas yang mengaku sudah menemukan Tuhan sekaligus merasakan kehadiran-Nya di mana saja ia berada. Abul Augus betul-betul gembira, seperti menemukan kunci yang hilang. ‘’Cepat beritahu saya di mana dan bagaimana saya menemukan Tuhan yang saya cari-cari,’’ sergahnya.
Abu Nawas tersenyum. Ia menyuruh Abul Augus salat dua rakaat lalu memintanya datang lagi kepadanya untuk menceritakan apa yang dirasakannya selama salat. Dari jawaban Abul Augus, Abu Nawas akan tahu apa yang harus dilakukan tamunya ini untuk bisa menemukan Tuhan.
‘’Tuan, terus terang, selama salat tadi saya lebih banyak melamun,’’ jawab Abul Augus polos saat ditanya apa yang ia alami selama salat tadi. ‘’Saya melafalkan semua bacaan salat, tapi pikiran saya menerawang ke mana-mana, terutama terbayang semua yang Anda lakukan barusan selama berzikir. Tepatnya, selama salat saya sebenarnya sedang cemburu pada Anda yang bisa asyik berzikir, sementara saya merasa hampa dengan zikir-zikir yang saya baca.’’
Abu Nawas tersenyum. Ia membuat kesepakatan agar keduanya bertemu di Distrik Qomty untuk kemudian mulai mengembara mencari Allah. Dua hari kemudian, Abu Nawas tiba di Qomty dengan setumpuk perlengkapan untuk perjalanan jarak jauh. Ia bertekad tak akan pulang dari mengembara sebelum Abul Augus menemukan Allah.
Arah yang mereka tuju adalah pusat kota Baghdad. Di pusat-pusat keramaian pasti ada Allah untuk mengatur peran-peran kehidupan manusia dan rejeki setiap orang. Hanya saja, tidak semua orang bisa merasakan kehadiran Allah seperti yang sekarang dialami Abul Augus.
Karena jarak antara Qomty dan Baghdad sangat jauh dan di antara keduanya terbentang padang pasir Um Jidir yang gersang dan terik, Abu Nawas mengajak kawannya itu mengqashar dan menjamak salat. Jenis yang dipilih adalah jamak ta’khir. Itu artinya mereka tidak hanya akan mengurangi jumlah rakaat salat, tapi juga menggabungkan salat Zuhur dan salat Ashar di satu waktu, yakni di waktu salat Ashar.
‘’Mengapa kita tidak salat jamak taqdim saja? Kita kan bisa melaksanakan salat Zuhur dan salat Ashar bersamaan siang ini di padang pasir ini?’’ tanya Abul Augus agak heran.
‘’Mengapa Anda cenderung melaksanakan jamak taqdim ketimbang jamak ta’khir?’’ balas Abu Nawas.
‘’Saya hanya khawatir, siapa tahu sebelum Ashar tiba kita dirampok penyamun di tengah jalan lalu mati terbunuh, padahal kita belum sempat salat Zuhur.’’
Abu Nawas tersenyum. ”Saudaraku Abul Augus, salat itu sesungguhnya berasyik-asyik dengan Allah. Salat tak boleh menjadi beban, bahkan semua syariat dalam Islam tak boleh menjadi beban. Karena itu tempat salat pun harus nyaman dan mengasyikkan. Jika kita salat di sini, pasir ini panasnya bukan main,’’ kata Abu Nawas sambil kakinya menginjak-injak pasir.
“Jidat Anda akan melepuh jika Anda sujud di sini dan itu berarti salat yang Anda laksanakan bukan hanya jadi beban, tapi juga membahayakan. Mari kita cari masjid di desa Oubaidy atau Ishbilya. Jika kita mati sebelum sampai di kedua desa itu, jangan khawatir, kita sudah berniat salat Zuhur. Baru berniat untuk salat saja Allah sudah tersenyum, apalagi jika kita benar-benar melaksanakan niat itu.’’
Abus Augus menganggukkan kepala lalu mengikuti Abu Nawas melanjutkan perjalanan. Ketika mereka menambatkan unta di halaman masjid di desa Ishbilya, serombongan musafir juga menambatkan unta mereka di taman yang sama. Namun, usai salat, Abu Nawas dan Abul Augus melihat rombongan musafir itu tidak ikut salat. Abul Augus bertanya mengapa mereka tidak salat dan hanya duduk-duduk santai di taman.
‘’Kami sudah salat jamak taqdim di desa kami. Jadi kami tak punya kewajiban lagi untuk salat Ashar,’’ kata ketua rombongan.
‘’Lalu mengapa Anda berhenti di masjid jika memang tak lagi wajib salat?‘’
‘‘Beberapa ekor unta kami tampak kelelahan, jadi kami berhenti sebentar untuk membiarkan mereka beristirahat di taman masjid ini. Islam mengajarkan kami tidak berlaku zalim kepada semua makhluk, termasuk kepada unta-unta ini.’’
Abul Augus sebenarnya kagum dengan jawaban ketua rombongan musafir, tapi untuk menambah keyakinannya, sekali lagi ia bertanya: ‘’Apakah Anda bersikap yang sama pada semua binatang?’’
‘’Jangankan kepada bintang, bahkan kepada pepohonan kami juga takut berbuat zalim,’’ tandas sang ketua rombongan. ‘’Bukankah seharusnya salat mencegah kita dari berbuat fahsya dan munkar? Untuk apa kita salat jika tetap berbuat fahsya dan munkar?’’
Abul Augus bertambah kagum. Dia pamit untuk melanjutkan perjalanan bersama Abu Nawas. Di tengah perjalanan ia lebih banyak diam sambil mengendalikan untanya. Tampaknya ia tengah berusaha mencerna semua kalimat mutiara yang dilontarkan ketua rombongan musafir yang tadi dijumpainya. Abu Nawas lalu memecah kesunyian dengan mengajaknya berdialog. Abul Augus b3r_g41_r4h dan kontan bertanya apa yang dipahami Abu Nswas tentang ‘’fahsya’’ dan ‘’munkar’’.
‘’Fahsya adalah semua perbuatan buruk yang tidak mengakibatkan kerugian langsung pada orang lain,’’ jawab Abu Nawas tak kalah b3r_g41_r4h. ‘’Karena perbuatan fahsya yang dilakukan seseorang tak langsung memberi dampak buruk pada orang lain, maka tak semua orang bisa segera mengenali nilai-nilai buruk yang dikandung dalam fahsya itu, lalu Allah memberitahu manusia tentang nilai-nilai buruk buruk tadi lewat ajaran agama-agama.’’
‘’Apa contohnya?’’ sergah Abus Augus antusias.
‘’Contohnya perzinaan, atau mereguk minuman memabukkan. Saat dua orang b3rz1_n4 di sebuah kamar tersembunyi, atau melakukan hubungan badan sejenis di tengah hutan, tak ada orang lain di luar mereka dirugikan secara langsung. Karena tak ada korban jiwa akibat perbuatan mereka, banyak orang kemudian berdebat bahwa perzinaan atau hubungan badan sejenis adalah hak pribadi yang tak boleh diganggu. Inilah mengapa nilai-nilai buruk dalam fahsya tidak mudah dikenali oleh umat manusia, lalu Allah mengenalkan nilai-nilai buruk itu pada kita, umat manusia.’’
Abul Augus tertegun di atas untanya.
‘’Sekarang bandingkan dengan perbuatan munkar,’’ lanjut Abu Nawas. ‘’Munkar adalah perbuatan buruk yang mengakibatkan kerugian langsung pada orang lain, misalnya pencuriaan, perampokan, atau p3m_8u_nuh4n. Karena semua perbuatan itu berdampak langsung pada orang lain, ada korban jiwa akibat perbuatan itu, maka nilai-nilai buruk yang terkandung di dalam kemungkaran gampang sekali dikenali. Seorang atheis yang tak beragama sekalipun percaya bahwa p3m_8u_nuh4n , perampokan, pencurian, semuanya adalah perbuatan buruk, perbuatan munkar.’’