Wali

MEMAKNAI PUASA SECARA TASAWUF

Diposting pada

Daftar Isi

Memaknai Puasa Secara Tasawuf

“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya”. (HR Bukhari)

‘Suatu hari Nabi saw. mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi saw. Segera memanggilnya. Lalu beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini!” Keruan saja, wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa.” Nabi saw. Berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu? Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang lapar”. ( HR Bukhari)

Dengan hadits tersebut, sebenarnya Rasulullah Saw. ingin menyadarkan kaum Muslim tentang hakikat puasa yang sebenarnya.

Istilah “shaum” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang mempunyai arti “menahan, mengekang atau mengendalikan (al-imsak) sedang istilah puasa adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta yang mempunyai arti menyiksa.Dari pengertian ini, terlihat dengan jelas perbedaan arti dari kedua istilah itu. Tetapi dalam bahasa Indonesia, kedua istilah itu diartikan sama.

Arti puasa yang sebenarnya adalah menahan diri atau mengendalikan dari apa saja, termasuk dari aktivitas inderawi, salah satu contohnya adalah puasa berbicara. Hal ini dapat disimak dari ucapan Maryam tatkala dirinya diberondong pertanyaan perihal kelahiran putranya, ‘Isa al – Masih.

“ …. Sesungguhnya aku bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini (QS Maryam 19 : 26)

Dalam ayat ini, Maryam menggunakan kata puasa (shaum) untuk sikap yang diambilnya, yakni tidak mau berbicara dengan siapa pun.

BACA JUGA:  Dzikir Berjamaah

Sementara itu, menurut istilah fiqih, puasa berarti “menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri sepanjang hari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari”.Tampaknya puasa dalam pengertian seperti itulah yang dipahami sahabat wanita yang ditegur Nabi Saw. Memang, tidak terlalu salah bila hal itu didasarkan pada ukuran fiqih. Sebab, sebagaimana diketahui, fiqih hanya mengatur persoalan-persoalan lahiriah atau esoteris semata. Menurut fiqih, puasa yang demikian itu sah, sekalipun hanya dengan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Dengan demikian, kewajiban puasa seseorang pun telah tertunaikan. Namun, ini tidak memadai bila diukur dengan menggunakan parameter Sunnah Nabi. Oleh karena itu, Para Sufi membagi puasa dalam beberapa tingkatan.

Menurut Para Sufi puasa dapat dipilah dalam tiga kategori : puasa perut, puasa nafsu, dan puasa qalbu.

Puasa perut adalah puasa dalam pengertian para ulama fiqih (fuqaha). Puasa jenis ini hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami-istri dan tidak lebih dari itu, sementara mata, telinga, lidah, dan anggota tubuh lainnya tetap bebas tanpa kendali.